oleh Ananda Rochmah
Kembali Aku berada pada saat yang tidak beradaya. Seorang anak datang kepadaku bersama segala penyakit yang ia deritanya. Fisiknya baik-baik saja, bahkan ia tampak sangat kuat. Ternyata bukan fisiknya yang sakit, tapi satu sisi tak nampak dalam hidupnya yang hingga kini para ilmuan pun tak tahu dimana letaknya. Yah... hatinya yang sakit. Begitu dalam luka itu menyayat hatinya hingga sikapnya berbeda dengan anak yang lain. Ia berdiri tepat didepan mataku dengan membawa kain pel untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya melanggar peraturan sekolah.
Ah... Tuhan betapa aku ingin menolongnya. Perbincangan ini kami mulai dengan bahasan ringan, tentang siapa namamu, dimana rumahmu, kenapa dihukum, dan pertanyaanku diakhiri dengan siapa nama orang tuamu. Ringan ia menjawab, “aku tidak punya orang tua”. Berdesir hatiku mendengar jawaban yang mungkin tidak pernah aku dan ia inginkan, disinilah letak permasalahanmu sesungguhnya nak...
“kok gitu... masak orang tua kok didoain biar cepet mati, eh nanti jadi anak durhaka lho...” jawabku dengan nada ringan menutupi hatiku yang gejolak.
“eh nggak ding bu, ibuku biar tetep sehat dan bahagia. Tapi bapakku biar cepet mati juga gak apa-apa” jawabnya. Astaghfirullah terdapat jawaban yang menguak sakitnya dengan lebih dalam.
“kok gitu... emang bapak kamu kemana?”
“bapak pergi jauh... gak ada kabar, mungkin udah mati...”
Pembicaraan terhenti saat aku dipanggil oleh pak BP yang menyuruhku mengantar sesuatu kekelas XA.
Ini sebuah pelajaran luar biasa untukku, wahai kaum hawa... jangan mau kau diperbudak dengan nafsu yang beratas namakan cinta. Hingga suatu saat kau menyesal dan mengalami luka. Lebih parahnya kau mambawa anakmu dalam lubang penderitaan itu. pilihlah lelaki yang baik agamanya dan bertanggungjawab.
Saat kembali ke ruangan hukuman itu, Ridwan selesai melaksanakan hukumannya. Ya... Ridwan nama anak itu. Tidak baik jika ku lanjutkan pembicaraan dengan mengacuhkan jam pelajaran yang harus Ridwan jalani. Inilah satu hal terkuat mengapa aku mau bekerja sebagai staff BK disalah satu sekolah pinggiran kota. Aku ingin menyelamatkan anak-anak seperti Ridwan agar mereka punya masa depan.
Aku meminta masalah ini segera ditangani oleh kepala BK disana, namun responnya begatif. Ia tak mau menanganinya dengan alasan, “bisa berbuat apa kita, itu adalah takdir Tuhan untuknya”. Dan aku kembali bersikap tegas, “maaf pak, alasan saya mau bekerja disini adalah untuk ini. Ilmu saya tidak akan bermanfaat jika saya tidak bisa menyelamatkan mereka. Jika memang bapak tidak mau menanganinya biar saya yang menanganinya.” Dan akhirnya dengan itu, kepala BK disana bersedia menangani kasus tersebut. Dan aku sebagai pelaksana lapangan.
Aku mulai dengan satu langkah, pagi ini. Surat panggilan itu datang ke kelas XI IA 1. Menyuruh Ridawan keluar dan menemuiku. Pertemuan itu berlanjut di kantin sekolah. Ku korek segala data tentang Ridawan dan keluarganya. Dan aku menemukan satu titik terang yang akan ku ceritakan nanti saat aku berkunjung ke rumah Ridwan. Biar kalian dengar sendiri cerita ini dari ibunya Ridwan
Siang ini, matahari tak begitu menyengat tapi tetap cerah. Aku berjanji kepada Ridwan untuk main ke rumahnya. Dan disanalah aku akan menemui kkeluarganya. Disana aku menemui sesosok wanita yang berusia hampir 45tahun sedang menjemur padi. Memang ini musim panen. Di rumah seribu jendela itu, aku berbicara dengan ibu Rodiyah. Ibunya Ridwan. Aku mulai dengan sedikit basa-basi dan menyasar ke permasalahan inti.
“mohon maaf bu Rodiyah, jika boleh saya bertanya dimana bapaknya Ridwan ya bu?” ku tatap wajah ibu itu, matanya nanar.
“bapaknya Ridwan pergi. Dari Ridwan usia 10 tahun. Bapaknya itu tukang mabuk, setiap hari pulang dengan keadaan mabuk, ia juga tidak mau bekerja. Setiap pulang adanya Cuma marah-marah. Ndak Cuma itu, ia juga gak segan-segan memukul kalo saya ndak mau menuruti kemauannya. Hingga pada hari itu, Ridwan yang masih 10 tahun bermain di ruang ini saat bapaknya pulang dalam kondisi setengah mabuk. Saat melihat Ridwan yang asik bermain mobil-mobilan dengan suara agak keras, ia membating Ridwan hingga Ridwan pingsan dan darah membanjiri seluruh kepalanya. Dan hingga kini luka itu masih membekas. Setelah kejadian itu, bapaknya Ridwan tidak menampakan dirinya. Dan saya segera mengurus surat perceraian. Saya dan Ridwan tidak berharap dia kembali lagi. Kami sudah bahagia hidup seperti ini.” Cerita Bu Rodiyah.
“ lalu Ridwan sekolah dengan biaya siapa bu?”
“ridwan disekolahkan oleh pak dhenya. Itu rumah pakdhe nya. Saya sendiri bekerja seperti ini Cuma cukup buat makan sehari-hari. Jadi pakdhenya Ridwan ini sangat membantu saya bahkan dalam menggantikan peran sebagai bapaknya.”
“mohon maaf sebelumnya, bukan maksud saya mencapuri urusan keluarga ibu. Tapi yang saya lihat, Ridwan itu trauma dengan kejadian itu. mungkin karena itu, ia berperilaku sedikit nakal dan tidak mematuhi tata tertib di sekolah. Mungkin karena ia juga merasa kurang kasih sayang.”
Dan mata nanar itu kini membasahi pipi denga air, “saya juga bingung bu... mau mengajari Ridwan, saya sendiri bodoh. Saya Cuma pingin ia bisa pandai dan menjadi orang sukses. Saya mungkin bukan ibu yang baik buat Ridwan, tapi saya berusaha yang terbaik untuk dia.” Suaranya sengau karena perih yang sudah tidak tertahan.
Dari balik pintu, Ridwan sedang menangis merenungi kesalahannya. Ibunya bekerja siang malam untuk memenuhi kebutuhannya namun ia belum bisa membanggakan ibunya. Ia keluar dari balik pintu, ia bersimpuh di kaki sang ibu dan meminta maaf. Dengan suara sengaunya, Ia berjanji akan menjadi anak yang baik, akan rajin belajar dan menjadi orang sukses seperti keinginan ibunya. Mungkin persepsi semua orang Ridwan tak lebih dari anak nakal. Tapi inilah kekuatan ibu, tapi ia adalah anak yang berbakti.
Dan ijinkan saya membuka rahasia nama Ridwan. Malam itu, seorang bayi lahir dari satu rumah kecil namun bahagia. Sang ayah yang bertanggung jawab berjuang membawa bidan malam hari saat hujan lebat untuk menolong persalinan istri tercintnya. Rumah yang orang bilang bahagia walaupun minim pemahaman agamanya. Saat suara bayi menggelegar memecah keheningan pertand a lahirnya seorang anak yang dinantikan. Kedua orang tuanya berharap anak ini menjadi malaikat yang mempersilakan kedua orang tuanya ke surga. Maka mereka menamakan anak ini dengan nama Ridwan, malaikat penunggu pintu surga. Dan doa malaikat mengamininya.... walaupun ia akan hidup didunia yang berat namun kelak ia akan membawa orang tuanya ke surga. Ridwan akan menjadi anak yang berbakti dan pemaaf walau luka hatinya begitu dalam. Dalam catatan Tuhan ia kelak akan menjadi seorang kaya yang dermawan dan berbakti kepada orang tua. Cinta Allah bersamanya didunia...
Ujian akhir semester telah usai, hari ini raport di berikan kepada wali murid masing-masing. Hari ini hari istimewa untuk Ridwan, ibu tercintanya mengusahakan mengambil sendiri raport Ridwan. Dan Ridwan membuktikan janjinya. Ia mendapatkan 10 besar semester ini. Kini air mata yang keluar dari mata bu Rodiyah adalah air mata kebahagiaan. Bangga terhadap anak semata wayangnya. Pujian dari guru dan temannya meluncur tanpa henti. Ridwan yang baik, pintar dan berbakti.
Dan lihatlah apa yang diazamkan dalam hatinya. Ia berazam semester depan akan mencetak prestasi yang lebih baik lagi. Untuk Allah dan untuk ibunya. Dan janji itu terpatri didalam hati.
Wahai kaum hawa... ditelapak kakimu dititipkan surgaNya. Rawatlah anakmu menjadi anak yang sholeh-sholehah karena ia hanyalah titipan Allah untuk kau bimbing. Berilah ia kasih sayang karena kekuatan sayangmu adalah kekuatan sayang terbesar didunia ini untuk anakmu. Dan itulah sebagian dari 1 cinta yang Allah turunkan didunia. Dan Allah masih memiliki 99cinta. Mencintailah dan berkasih sayanglah... karena anakmu berhak mendapatkannya.
cerita ini hanya fiktif belaka,
dibuat di gemolong, Sragen (tapi lebih deket ke solo... hehehe)
Sumber
Kembali Aku berada pada saat yang tidak beradaya. Seorang anak datang kepadaku bersama segala penyakit yang ia deritanya. Fisiknya baik-baik saja, bahkan ia tampak sangat kuat. Ternyata bukan fisiknya yang sakit, tapi satu sisi tak nampak dalam hidupnya yang hingga kini para ilmuan pun tak tahu dimana letaknya. Yah... hatinya yang sakit. Begitu dalam luka itu menyayat hatinya hingga sikapnya berbeda dengan anak yang lain. Ia berdiri tepat didepan mataku dengan membawa kain pel untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya melanggar peraturan sekolah.
Ah... Tuhan betapa aku ingin menolongnya. Perbincangan ini kami mulai dengan bahasan ringan, tentang siapa namamu, dimana rumahmu, kenapa dihukum, dan pertanyaanku diakhiri dengan siapa nama orang tuamu. Ringan ia menjawab, “aku tidak punya orang tua”. Berdesir hatiku mendengar jawaban yang mungkin tidak pernah aku dan ia inginkan, disinilah letak permasalahanmu sesungguhnya nak...
“kok gitu... masak orang tua kok didoain biar cepet mati, eh nanti jadi anak durhaka lho...” jawabku dengan nada ringan menutupi hatiku yang gejolak.
“eh nggak ding bu, ibuku biar tetep sehat dan bahagia. Tapi bapakku biar cepet mati juga gak apa-apa” jawabnya. Astaghfirullah terdapat jawaban yang menguak sakitnya dengan lebih dalam.
“kok gitu... emang bapak kamu kemana?”
“bapak pergi jauh... gak ada kabar, mungkin udah mati...”
Pembicaraan terhenti saat aku dipanggil oleh pak BP yang menyuruhku mengantar sesuatu kekelas XA.
Ini sebuah pelajaran luar biasa untukku, wahai kaum hawa... jangan mau kau diperbudak dengan nafsu yang beratas namakan cinta. Hingga suatu saat kau menyesal dan mengalami luka. Lebih parahnya kau mambawa anakmu dalam lubang penderitaan itu. pilihlah lelaki yang baik agamanya dan bertanggungjawab.
Saat kembali ke ruangan hukuman itu, Ridwan selesai melaksanakan hukumannya. Ya... Ridwan nama anak itu. Tidak baik jika ku lanjutkan pembicaraan dengan mengacuhkan jam pelajaran yang harus Ridwan jalani. Inilah satu hal terkuat mengapa aku mau bekerja sebagai staff BK disalah satu sekolah pinggiran kota. Aku ingin menyelamatkan anak-anak seperti Ridwan agar mereka punya masa depan.
Aku meminta masalah ini segera ditangani oleh kepala BK disana, namun responnya begatif. Ia tak mau menanganinya dengan alasan, “bisa berbuat apa kita, itu adalah takdir Tuhan untuknya”. Dan aku kembali bersikap tegas, “maaf pak, alasan saya mau bekerja disini adalah untuk ini. Ilmu saya tidak akan bermanfaat jika saya tidak bisa menyelamatkan mereka. Jika memang bapak tidak mau menanganinya biar saya yang menanganinya.” Dan akhirnya dengan itu, kepala BK disana bersedia menangani kasus tersebut. Dan aku sebagai pelaksana lapangan.
Aku mulai dengan satu langkah, pagi ini. Surat panggilan itu datang ke kelas XI IA 1. Menyuruh Ridawan keluar dan menemuiku. Pertemuan itu berlanjut di kantin sekolah. Ku korek segala data tentang Ridawan dan keluarganya. Dan aku menemukan satu titik terang yang akan ku ceritakan nanti saat aku berkunjung ke rumah Ridwan. Biar kalian dengar sendiri cerita ini dari ibunya Ridwan
Siang ini, matahari tak begitu menyengat tapi tetap cerah. Aku berjanji kepada Ridwan untuk main ke rumahnya. Dan disanalah aku akan menemui kkeluarganya. Disana aku menemui sesosok wanita yang berusia hampir 45tahun sedang menjemur padi. Memang ini musim panen. Di rumah seribu jendela itu, aku berbicara dengan ibu Rodiyah. Ibunya Ridwan. Aku mulai dengan sedikit basa-basi dan menyasar ke permasalahan inti.
“mohon maaf bu Rodiyah, jika boleh saya bertanya dimana bapaknya Ridwan ya bu?” ku tatap wajah ibu itu, matanya nanar.
“bapaknya Ridwan pergi. Dari Ridwan usia 10 tahun. Bapaknya itu tukang mabuk, setiap hari pulang dengan keadaan mabuk, ia juga tidak mau bekerja. Setiap pulang adanya Cuma marah-marah. Ndak Cuma itu, ia juga gak segan-segan memukul kalo saya ndak mau menuruti kemauannya. Hingga pada hari itu, Ridwan yang masih 10 tahun bermain di ruang ini saat bapaknya pulang dalam kondisi setengah mabuk. Saat melihat Ridwan yang asik bermain mobil-mobilan dengan suara agak keras, ia membating Ridwan hingga Ridwan pingsan dan darah membanjiri seluruh kepalanya. Dan hingga kini luka itu masih membekas. Setelah kejadian itu, bapaknya Ridwan tidak menampakan dirinya. Dan saya segera mengurus surat perceraian. Saya dan Ridwan tidak berharap dia kembali lagi. Kami sudah bahagia hidup seperti ini.” Cerita Bu Rodiyah.
“ lalu Ridwan sekolah dengan biaya siapa bu?”
“ridwan disekolahkan oleh pak dhenya. Itu rumah pakdhe nya. Saya sendiri bekerja seperti ini Cuma cukup buat makan sehari-hari. Jadi pakdhenya Ridwan ini sangat membantu saya bahkan dalam menggantikan peran sebagai bapaknya.”
“mohon maaf sebelumnya, bukan maksud saya mencapuri urusan keluarga ibu. Tapi yang saya lihat, Ridwan itu trauma dengan kejadian itu. mungkin karena itu, ia berperilaku sedikit nakal dan tidak mematuhi tata tertib di sekolah. Mungkin karena ia juga merasa kurang kasih sayang.”
Dan mata nanar itu kini membasahi pipi denga air, “saya juga bingung bu... mau mengajari Ridwan, saya sendiri bodoh. Saya Cuma pingin ia bisa pandai dan menjadi orang sukses. Saya mungkin bukan ibu yang baik buat Ridwan, tapi saya berusaha yang terbaik untuk dia.” Suaranya sengau karena perih yang sudah tidak tertahan.
Dari balik pintu, Ridwan sedang menangis merenungi kesalahannya. Ibunya bekerja siang malam untuk memenuhi kebutuhannya namun ia belum bisa membanggakan ibunya. Ia keluar dari balik pintu, ia bersimpuh di kaki sang ibu dan meminta maaf. Dengan suara sengaunya, Ia berjanji akan menjadi anak yang baik, akan rajin belajar dan menjadi orang sukses seperti keinginan ibunya. Mungkin persepsi semua orang Ridwan tak lebih dari anak nakal. Tapi inilah kekuatan ibu, tapi ia adalah anak yang berbakti.
Dan ijinkan saya membuka rahasia nama Ridwan. Malam itu, seorang bayi lahir dari satu rumah kecil namun bahagia. Sang ayah yang bertanggung jawab berjuang membawa bidan malam hari saat hujan lebat untuk menolong persalinan istri tercintnya. Rumah yang orang bilang bahagia walaupun minim pemahaman agamanya. Saat suara bayi menggelegar memecah keheningan pertand a lahirnya seorang anak yang dinantikan. Kedua orang tuanya berharap anak ini menjadi malaikat yang mempersilakan kedua orang tuanya ke surga. Maka mereka menamakan anak ini dengan nama Ridwan, malaikat penunggu pintu surga. Dan doa malaikat mengamininya.... walaupun ia akan hidup didunia yang berat namun kelak ia akan membawa orang tuanya ke surga. Ridwan akan menjadi anak yang berbakti dan pemaaf walau luka hatinya begitu dalam. Dalam catatan Tuhan ia kelak akan menjadi seorang kaya yang dermawan dan berbakti kepada orang tua. Cinta Allah bersamanya didunia...
Ujian akhir semester telah usai, hari ini raport di berikan kepada wali murid masing-masing. Hari ini hari istimewa untuk Ridwan, ibu tercintanya mengusahakan mengambil sendiri raport Ridwan. Dan Ridwan membuktikan janjinya. Ia mendapatkan 10 besar semester ini. Kini air mata yang keluar dari mata bu Rodiyah adalah air mata kebahagiaan. Bangga terhadap anak semata wayangnya. Pujian dari guru dan temannya meluncur tanpa henti. Ridwan yang baik, pintar dan berbakti.
Dan lihatlah apa yang diazamkan dalam hatinya. Ia berazam semester depan akan mencetak prestasi yang lebih baik lagi. Untuk Allah dan untuk ibunya. Dan janji itu terpatri didalam hati.
Wahai kaum hawa... ditelapak kakimu dititipkan surgaNya. Rawatlah anakmu menjadi anak yang sholeh-sholehah karena ia hanyalah titipan Allah untuk kau bimbing. Berilah ia kasih sayang karena kekuatan sayangmu adalah kekuatan sayang terbesar didunia ini untuk anakmu. Dan itulah sebagian dari 1 cinta yang Allah turunkan didunia. Dan Allah masih memiliki 99cinta. Mencintailah dan berkasih sayanglah... karena anakmu berhak mendapatkannya.
cerita ini hanya fiktif belaka,
dibuat di gemolong, Sragen (tapi lebih deket ke solo... hehehe)
Sumber
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !